Penjawab: Fonnyta Laurenzia Rosiga, S.H., M.Kn.
(Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember)
Yang pertama yang harus kita fahami terlebih dahulu adalah Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), merupakan undang-undang yang mengatur hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha dalam rangka menciptakan perlindungan yang adil bagi konsumen. Tujuan dari undang-undang tersebut adalah untuk meningkatkan harkat, martabat konsumen dan kesadaran, pengetahuan, kemampuan, kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab.
Mengkorelasikan keterkaitan antara UUPK dengan perbankan syariah, dalam hal ini harus menyamakan presepsi terlebih dahulu apakah nasabah pada perbankan syariah merupakan konsumen sebagaimana UUPK dengan peraturan perundang – undangan bidang perbankan syariah. Pasal 1 angka 2 UUPK menyebutkan: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berkaitan dengan pasal tersebut, Pasal 1 angka 16 sampai dengan angka 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS) dijelaskan bahwasannya nasabah terdiri dari 4 macam :
Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS;
Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan;
Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan;
Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah.
Jenis nasabah tersebut menunjukkan bahwa nasabah merupakan pengguna jasa tetapi norma pada pasal - pasal UUPS tidak menggunakan nomenklatur “konsumen”. Konsep “konsumen” pada bidang perbankan dapat diketahui dari Pasal 1 angka 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22 Tahun 2023 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan yang mendevinisikan:
“Konsumen adalah setiap orang yang memiliki dan/atau memanfaatkan produk dan/atau layanan yang disediakan oleh PUJK”
Pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) yang diatur dalam POJK ini termasuk pada pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah. OJK selaku Lembaga yang diberikan kewenangan dalam hal pengaturan dan pengawasan perbankan, memiliki konsep Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) yang mana konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui lembaga ini. Penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan di luar pengadilan dilakukan melalui 1 (satu) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan.
Selain dari pada peran OJK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa para pihak diluar pengadilan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS), terdapat juga lembaga yang memiliki kewenangan yang sama yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang mana sesuai dengan Pasal 52 UUPK, BPSK juga memiliki wewenang dalam hal penyelesaian sengketa konsumen. Pada penerapan di atas maka jelas bahwa BPSK juga merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melindungi hak-haknya dari pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Akan tetapi banyak permasalahan yang terjadi terkait kewenangan menyelesaian sengketa antara BPSK dan LAPS sebagai lembaga yang keduanya memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.
Adapun tugas dan wewenang LAPS SJK adalah sebagai berikut:
Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan;
Memberikan konsultasi penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan;
Melakukan penelitian dan pengembangan layanan penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan;
Membuat peraturan dalam rangka penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan;
Melakukan kerjasama dengan lembaga/instansi perlindungan konsumen baik nasional maupun internasional, dan
Melakukan pengembangan kompetensi mediator dan arbiter yang terdaftar pada LAPS SJK.
Sedangkan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen meliputi:
Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam UUPK;
Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Secara garis besar kita dapat diartikan bahwasannya tugas dan wewenang dari BPSK dan LAPS SJK sama-sama berwenang melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, hanya saja LAPS SJK lebih fokus pada sengketa di sektor jasa keuangan yang kewenangannya lahir berdasarkan Peraturan OJK tetapi tidak dibentuk langsung dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Lain hal dengan BPSK yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen secara general sebagaimana diamanatkan langsung oleh UUPK. Kedua lembaga tersebut memiliki kewenangan dan sebagaimana peraturan perundang - undangan mengatur, tetapi adanya LAPS yang lahir berdasarkan Peraturan OJK tidak dapat menghilangkan kewenangan BPSK dalam menangani sengketa konsumen pada perbankan syariah, karena:
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak memerintahkan langsung pembentukan LAPS, melaikan bedasarkan Peraturan OJK;
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, bukan lex spesialis dari UUPK.
Peraturan OJK tidak dapat menghilangkan kewenangan lembaga yang diatur oleh Undang - Undang.
Merujuk pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang mana menyatakan :
Pasal 70
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467) dan peraturan pelaksanaannya;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) dan peraturan pelaksanaannya;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477) dan peraturan pelaksanaannya;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608) dan peraturan pelaksanaannya;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962) dan peraturan pelaksanaannya;
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) dan peraturan pelaksanaannya; dan
peraturan perundang-undangan lainnya di sektor jasa keuangan,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
dari pasal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwasanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan aturan khusus yang dapat mengesampingkan 6 undang - undang sebagaimana Pasal 70 diatas, tetapi bukan merupakan aturan khusus yang dapat mengesampingkan UUPK yang merupakan dasar kewenangan dari BPSK.