Penjawab: Dr. Andi Widiatno, S.Kom., S.H., M.H., C.TA., C.MED. dan ⁠Olivia Pauline Hartanti, S.H., M.H.
(Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Trisakti)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks dalam terminologinya mengandung makna berita bohong dan berita tidak bersumber. Hoaks juga dapat diartikan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun “dijual” sebagai kebenaran atau juga suatu berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda tertentu. Hoaks bukan sekedar misleading alias menyesatkan, informasi tersebut juga tidak memiliki landasan faktual dan disajikan seakan-akan sebagai suatu serangkaian fakta. Hoaks juga sebagai informasi yang direkayasa untuk menutupi kebenaran informasi yang sebenarnya.

Pada dasarnya mengenai istilah hoaks itu sendiri sebenarnya tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tetapi ada beberapa peraturan yang menyingung dan mengatur tentang berita bohong, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Pertama atas Undang -Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Selanjutnya disebut “UU ITE”). Pada ketentuan a quo tidak menjelaskan secara jelas dan rinci mengenai apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”, sebagaimana bunyi Pasal 28 ayat (1) UU ITE, sebagai berikut:

Pasal 28 ayat (1) UU ITE
“Setiap Orang dengan sengaja mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam Transaksi Elektronik..”

Pada Pasal 45A ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024 menjelaskan bahwa pelaku yang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan mengenai informasi yang memuat kebohongan dan menyesatkan yang menimbulkan kerugian, bisa dipidanakan sebagaimana tertuang pada ketentuan dibawah ini:

Pasal 45A ayat (1)
“Setiap Orang yang dengan sengaja mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian material bagi konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Kemudian, dalam memaknai cybercrime, The Black’s Law Dictionary mengartikannya sebagai yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai suatu kejahatan yang menggunakan komputer. Selain itu, website resmi Badan Pelatihan dan Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (BPPTIK) mengartikan cybercrime itu sebagai suatu perbuatan kejahatan yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Pada dasarnya dapat disimpulkan bahwasannya, kejahatan siber itu merupakan kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi digital atau internet sebagai alat pelaksanaan perbuatan tersebut.

Dalam melihat penjelasan diatas, bahwa tindakan yang dilakukan dengan menggunakan komputer atau teknologi lainnya yang dengan tujuan untuk menyebarkan suatu berita dan/atau informasi yang menyesatkan atau bohong termasuk dalam ranah kategori salah satu kejahatan siber. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa perbuatan penyebaran berita bohong yang menimbulkan kerugian bagi konsumen dan tindakan kejahatan tersebut dilakukan dalam lingkup dunia maya sebagaimana yang saudara maksud tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan siber.

Bagaimana bentuk pelindungan hukum bagi konsumen terhadap berita palsu yang menyesatkan dan merugikan di dunia maya?

Berkaitan dengan bentuk pelindungan hukum yang dapat berikan kepada konsumen terhadap berita palsu yang menyesatkan dan merugikan di dunia maya dapat dilakukan analisis dengan menggunakan perspektif hukum perlindungan konsumen yang pada dasarnya telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut “UU Perlindungan Konsumen”) dan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut “KUHP”) juga ketentuan perundang – undangan lain.

Pasal 10 UU Perlindungan Konsumen
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.”

Pasal 11 UU Perlindungan Konsumen
“Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.”

Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen
”(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Pasal 390 KUHP
“Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.”

Sebagaimana ketentuan diatas, dengan ditimbulkannya kerugian atas perbuatan penyebaran berita bohong tersebut, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan perlindungan hukum dalam lingkup hukum perdata untuk menuntut atas kerugian yang dialami. Tuntutan yang dilakukan dapat dilakukan atas perbuatan wanprestasi (apabila melibatkan perjanjian antara pihak yang berperkara) atau perbuatan melawan hukum dengan berkewajiban mengganti rugi sejumlah yang dialami oleh korban penyebaran berita bohong tersebut, hal ini sebagaimana ketentuan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Selanjutnya disebut “ KUHPer”) Pasal 1365 KUHPer:

Pasal 1365 KUHPer
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Bahwa melihat penjelasan diatas, bahwa disimpulkan jika terdapat berita bohong dan/atau menyesatkan yang merugikan konsumen dapat dilakukannya tuntutan hak dan kepada para pelaku dapat dikenakan sanksi administrasi (dalam bentuk pencabutan izin dan/atau denda) dan sanksi pidana.

Dengan bentuk perlindungan hukum yang sedemikian rupa tentunya sebagai konsumen dan pengguna layanan informasi berbasis online atau media sosial juga perlu jelih dan cermat dalam menerima serta menyebarkan berita-berita yang ditemui atau diterima. Adapun cara pelaporan terkait hoaks yang dapat dilakukan guna mencegah penyebarluasan berita bohong tersebut adalah dengan melakukan screen capture disertai url link, kemudian mengirimkan data ke e-mail layanan pengaduan [email protected].

Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan pertama atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Sumber Referensi:
The Black’s Law Dictionary.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Kementrian Komunikasi dan Telekomunikasi (https://www.kominfo.go.id/).