Penjawab: Lembaga Bantuan Hukum Makassar

Efek samping kosmetika (ESK) terutama dapat timbul pada kulit yang kontak, akan tetapi reaksi dapat pula terjadi pada organ lain bahkan dapat menimbulkan gangguan sistemik tergantung pada bahan aktif yang digunakan. Efek samping kosmetika antara lain Dermatitis Kontak Alergi (DKA), Sindrom Iritasi, Hiperpigmentasi pasca radang, Okronosis eksogen, Atrofi kulit telengiektasi, Hipopigmentasi, Akne kosmetika, Urtikaria Kontak, dan Sistemik.

Pasal 7 huruf f Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa pelaku usaha wajib “memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan”. Selain kewajiban, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen akibat mengkomsumsi atau memakai produk yang diperdagangkan oeleh pelaku usaha. Apabila pelaku usaha menolak memberikan ganti kerugian setelah korban/konsumen memberitahukan hal ini kepada pelaku usaha maka dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 19 dan 23 UU Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa:
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Upaya Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan melalui peradilan umum (Litigasi) atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Non-litigasi). Pengajuan gugatan dilakukan apabila konsumen mengalami kerugian akibat peggunaan barang yang diperdagangkan oleh suatu pelaku usaha. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1), yang mengatur bahwa “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”. Adapun lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha disebut BPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) UU Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”.
Penyelesaian sengketa konsumen melalu peradilan umum dilakukan dengan pengajuan gugatan Ganti rugi dengan menggunakan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Ganti kerugian harus dilakukan atas dasar adanya pelanggaran hukum berupa perbuatan melawan hukum (PMH). Hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata sebagai suatu perbuatan lali/kelalaian atau ‘Negligence’ yang dikaitkan dengan tanggung jawab dari produsen produk tersebut untuk bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum (kelalaian/Negligence) yang dilakukan. Adapun hal tersebut harus memenuhi syarat-syarat seperti:
(1) adanya tingkah laku yang mengalami kerugian, yang tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal pada umumnya;
(2) harus membuktikan bahwa pelaku usaha (pihak tergugat jika sudah digugat) lalai atas prinsip Duty of Care terhadap konsumen (pihak penggugat jika suda digugat); dan
(3) kelakuan itu seharusnya menjadi penyebab nyata dari kerugian yang timbul.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), apabila yang dilanggar adalah hal-hal yang bersifat administratif yakni yang diatur dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 UU Perlindungan konsumen, dengan Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UU Perlindungan Konsumen.
Namun yang perlu digaris bawahi disini bahwa pelaku usaha dapat saja terbebas dari tanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh konsumen, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan 28 UU Perlindungan Konsumen.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

Penyelesaian sengketa konsumen sebagai tindak pidana apabila pelaku usaha diduga melanggar pasal sebagaimana diatur dalam Pasal 62 dan 63 yang mengatur bahwa:
Pasal 62
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijadikan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha
Dengan dasar hukum yang telah disebutkan di atas maka Konsumen atau korban yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha memiliki Legal Standing untuk menggugat atau melapor pidana suatu pelaku usaha, namun yang menjadi persoalan seperti yang terjadi pada korban di atas adalah apabila pelaku usaha/perusahaan tersebut sudah tidak beroperasi lagi, kemanakah korban dapat menuntut haknya atas kerugian yang dialaminya, dan siapakah yang harus korban laporkan untuk meminta pertanggung jawaban pidana?, untuk menjawab ini mungkin kita perlu meninjau alasan kenapa perusahaan tersebut tidak beroperasi lagi apakah perusahaan tersebut dibubarkan atau di non-aktifkan?
Dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas terdapat organ perseroan yang dapat dimintai pertanggung jawaban hukum yakni direksi dan dewan komisaris, sebagiaman diatur dalam Pasal 1 ayat (5) dan (6) UU No.40 tahun 2017 Tentang Perseroan Terbatas. Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, sebagaimana diatur dalam. Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi
Apabila perusahaan dibubarkan akan tetapi masih dalam proses likuidasi maka Anggota Direksi atau anggota dewan komisaris masih beratanggung jawab untuk menyelesaikan seluruh kewajiban ke karyawan maupun pihak ketiga, sebagaimana diatur dalam Pasal 138 (1) UU PT Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:
a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau
b. anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.
Sedangkan apabila perusahaan di nonaktifkan maka PT tersebut tetap memiliki domisili usaha yaitu kedudukan kantor dan juga izin usaha yang berlaku karena memang PTnya masih ada dan selama PT itu masih ada, masih memiliki kewajiban sebagai PT yang memiliki kegiatan usaha walaupun kegiatan usahanya tidak aktif, sehingga masih dapat dilakukan gugatan terhadap Perusahaan atau melaporkan perusahaan tersebut telah mekukan tindak pidana.
Saat RUPS setuju maka dilakukan proses likuidasi, yaitu untuk membereskan kekayaan PT. Dalam proses pembubaran, PT memiliki kewajiban:
• Menyelesaikan seluruh kewajiban ke karyawan maupun pihak ketiga;
• Harus membereskan aset PT, jadi tidak bisa PT bubar tapi terdapat aset atas namanya misalnya properti, mesin, dan kendaraan. Maksud dari pemberesan adalah dijual atau dialihkan pihak lain. Sampai PT hanya memiliki kekayaan likuid, yaitu aset yang telah dialihkan dan menjadi harta kekayaan PT;
• Mencabut izin usahanya; dan
• Mencabut status wajib pajak dari PT tersebut.
Perlu dipahami bahwa perusahaan masih dianggap sebagai badan hukum sampai dengan pertanggungjawaban Likuidator diterima oleh RUPS/pengadilan yang menandai selesainya proses likuidasi. Jadi pembubaran ini menjadi proses yang cukup panjang. Penutupan dan pembubaran perusahaan merupakan suatu proses yang diperiksa dulu sebelum bisa diterima oleh RUPS baik dari sisi legalnya maupun sisi pajaknya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 143 UU PT yang mengatur bahwa:
(1) Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.
(2) Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan.
Sementara penon-aktifan PT tidak membubarkan PT sehingga PT tidak melakukan kegiatan usaha (dorma). Tapi jika PT ini tidak dibubarkan dan masih ada badannya, jadi ada kewajiban yang timbul diantaranya:
• PT harus tetap melakukan kewajiban pelaporan (seperti laporan pajak dan laporan keuangan). Jadi karena blm bubar maka kewajiban ini ada, dan ketika instansi menanyakan dorma, wajib diberikan jawaban bagi pengurus PT.
• Harus juga menjalankan kewajiban finansial (misal BPJS harus tetap dibayar),
• Dan juga harus tetap memiliki domisili usaha yaitu kedudukan kantor dan juga izin usaha yang berlaku karena memang PTnya masih ada dan selama PT itu masih ada, masih memiliki kewajiban sebagai PT yang memiliki kegiatan usaha walaupun kegiatan usahanya tidak aktif.

Sumber Referensi:
Dwi Nurwulan Prafitaari, “Efek Samping Kosmetik Dan Penanganannya”, https://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/download/1065/1149/2174 , Diakses pada tanggal 21 April 2024.

Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
KUHPerdata
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2017 Tentang Perseroan Terbatas