Penjawab: Yasyfa Febriani, S.H.
(Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia)
Dokter merupakan salah satu tenaga medis. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU No.17/2023), tenaga medis didefinisikan sebagai “setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Dalam melaksanakan kewenangannya melakukan upaya kesehatan, setiap dokter di Indonesia wajib tunduk pada ketentuan UU No.17/2023.
UU No.17/2023 mengatur, antara lain, mengenai kewajiban dokter. Berdasarkan Pasal 274 ayat (2), dokter dalam menjalankan praktik wajib untuk:
Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan pasien;
Memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan;
Menjaga rahasia kesehatan pasien;
Membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan
Merujuk pasien ke dokter atau tenaga kesehatan lain yang mempunyai kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
Di saat yang sama, UU No.17/2023 juga mengatur hak pasien. Secara umum, Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak antara lain untuk mendapatkan perawatan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan, menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya secara mendiri dan bertanggung jawab, menerima dan menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap, memperoleh kerahasiaan data dan informasi kesehatan pribadinya, dan memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya, termasuk tindakan dan pengobatan yang telah ataupun yang akan diterimanya dari dokter. Secara spesifik, Pasal 276 menegaskan bahwa pasien mempunyai hak untuk:
Mendapatkan informasi mengenai kesehatan dirinya;
Mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai pelayanan kesehatan yang diterimanya;
Mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, standar profesi, dan pelayanan yang bermutu;
Menolak atau menyetujui tindakan medis tertentu, kecuali untuk tindakan medis yang diperlukan dalam rangka pencegahan penyakit menular dan penanggulangan kejadian luar biasa/wabah;
Mendapatkan akses terhadap informasi yang terdapat di dalam rekam medis;
Meminta pendapat dokter; dan
Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam kaitannya dengan praktik medis, kewajiban dokter, dan hak pasien, perlakuan dokter yang tidak etis atau penyalahgunaan kekuasaan dokter sering kali disebut sebagai malpraktik medis. Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktek Dokter), suatu tindakan dokter dapat dikategorikan sebagai malpraktik medis jika memenuhi berbagai elemen yuridis. Elemen-elemen tersebut mencakup:
Adanya tindakan pengabaian;
Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau orang di bawah pengawasannya;
Tindakan tersebut berupa tindakan medis, yaitu tindakan diagnosis, terapeutik, manajemen kesehatan;
Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya;
Tindakan tersebut dilakukan secara:
a. Melanggar hukum, dan atau;
b. Melanggar kepatutan, dan atau;
c. Melanggar kesusilaan, dan atau;
d. Prinsip-prinsip profesional.
Dilakukan dengan kesengajaan atau ketidakhati-hatian (kelalaian, kecerobohan);
Tindakan tersebut mengakibatkan pasien dalam perawatannya:
a. Salah tindak, dan atau;
b. Rasa sakit, dan atau;
c. Luka, dan atau;
d. Cacat, dan atau;
e. Kematian, dan atau;
f. Kerusakan pada tubuh dan atau jiwa, dan atau;
g. Kerugian lainnya terhadap pasien.
Menyebabkan dokter harus bertanggungjawab secara administrasi, perdata, dan pidana.
Mengingat adanya kemungkinan dalam malpraktik medis, UU No.17/2023 mengatur aspek penyelenggaraan praktik medis melalui pasal-pasalnya. Dalam Pasal 279, ditegaskan bahwa setiap dokter bertanggung jawab secara moral untuk mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki. Dokter juga bertanggung jawab untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi dokter dan untuk mengutamakan kepentingan pasien dan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam menjalankan praktik medis, setiap dokter juga harus melaksanakan upaya terbaik sebagaimana ditegaskan Pasal 280.
Namun, bagaimana jika malpraktik medis oleh dokter tetap terjadi? Dalam hukum Indonesia, jika terjadi malpraktik medis terhadap pasien, seorang dokter dapat bertanggung jawab berdasarkan hukum perdata, pidana, dan administrasi. Berikut pengaturannya:
Dalam hal hukum perdata, malpraktik medis secara keperdataan terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi terapeutik oleh dokter, atau terjadinya perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang menimbulkan kerugian kepada pasien. Jika hal ini terjadi, maka dokter dapat digugat secara keperdataan melalui mekanisme gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Dalam hal hukum pidana, UU No.17/2023 mengatur sejumlah larangan dan sanksi pidana yang dapat ditemukan ketentuannya BAB XVIII mengenai Ketentuan Pidana. Di dalam bab tersebut, terdapat larangan-larangan yang ditujukan kepada setiap orang dan secara spesifik kepada dokter dalam konteks upaya kesehatan. Sebagai contoh, UU No.17/2023 menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap seorang perempuan:
a. dengan persetujuan perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Dalam konteks ini, jika hingga mengakibatkan kematian perempuan, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun;
b. tanpa persetujuan perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Dalam konteks ini, jika hingga mengakibatkan kematian perempuan, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
c. Jika dokter yang melakukan tindakan-tindakan tersebut di atas, maka pidananya ditambah dengan ⅓ (satu per tiga). Dalam hal ini, dokter yang terbukti melakukan tindakan-tindakan tersebut di atas juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu yaitu: (a) hak memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu; dan/atau hak menjalankan profesi tertentu. Namun demikian, jika dokter melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan, maka Pasal 429 ayat (3) menegaskan bahwa dokter tersebut tidak dipidana.
Lebih lanjut, larangan dan sanksi pidana yang ditujukan kepada dokter dapat dilacak dalam Pasal 427 hingga 448 UU No.17/2023.
Dalam hal hukum administrasi, malpraktik medis secara administratif terjadi saat petugas melanggar hukum administrasi negara, seperti menjalankan praktik tanpa izin, melakukan tindakan di luar lisensi atau izin yang dimiliki, atau praktik dengan izin yang kadaluarsa. Menurut Pasal 283 UU No.17/2023 misalnya, seorang dokter yang berpraktik secara perseorangan harus memberikan informasi identitas yang jelas, termasuk nomor Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR), di tempat praktiknya. Jika hal ini tidak dilakukan, maka sanksi administratif dapat diterpkan dapat berupa teguran lisan, peringatan tertulis, denda administratif, dan/atau pencabutan izin.
Namun demikian, dalam Bagian Kesebelas mengenai Penegakan Disiplin Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta Penyelesaian Perselisihan, UU No.17/2023 mengatur bahwa dalam hal dokter diduga melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian pada pasien, perselisihan yang timbul akibat kesalahan tersebut diselesaikan terlebih dahulu melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dengan adanya ketentuan ini, dapat diketahui bahwa setiap perselisihan yang terjadi antara dokter dan pasien, terutama yang diakibatkan oleh kesalahan dokter dalam menjalankan profesinya, diselesaikan melalui jalur non-judisial terlebih dahulu. Jika penyelesaian melalui jalur non-judisial tidak membuahkan hasil yang baik untuk kedua belah pihak, barulah penyelesaian jalir judisial baik melalui mekanisme perdata, pidana, maupun administrasi dapat ditempuh.
Dasar Hukum:
Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.