Tenaga Medis yang Membagikan Kasus Pasien di Sosial Media
-
Saya sering melihat dokter-dokter berbagi pengalaman atau kasus-kasus yang mereka hadapi di media sosial. Namun, terkadang kasus-kasus yang dibagikan tersebut dapat dianggap memalukan bagi pasien, terutama jika dibagikan tanpa izin dari pasien, meskipun nama pasien tidak disebutkan. Oleh karena itu, saya ingin bertanya, apakah dokter-dokter diperbolehkan membagikan cerita-cerita mengenai pasiennya di media sosial tanpa seizin pasien, meskipun tanpa menyebutkan nama? Jika tidak diperbolehkan, apa bentuk pertanggungjawaban yang dapat diminta oleh pasien? Apakah pasien memiliki hak untuk meminta dokter menghapus postingan tersebut?
-
Penjawab: Sahid Hadi, S.H., M.H.
(Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia)Mengenai seorang dokter yang membagikan cerita-cerita mengenai pasiennya di media sosial tanpa seizin pasien, hal ini berkaitan dengan hubungan antara dokter dan pasien. Maka dari itu, hal yang perlu diketahui pertama-tama adalah kewajiban tenaga medis dan tenaga kesehatan, termasuk dokter di dalamnya, dan hak dari pasien.
Kewajiban tenaga medis dan tenaga kesehatan, termasuk dokter di dalamnya, diatur dalam Pasal 274 dan Pasal 275 UU No.17/2023 tentang Kesehatan, antara lain:
- Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan pasien.
- Memperoleh persetujuan dari pasien dan keluarganya atas tindakan yang akan diberikan.
- Menjaga rahasia kesehatan pasien.
- Membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan.
- Merujuk pasien ke tenaga medis atau tenaga kesehatan lain yang mempunyai kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
- Khusus untuk tenaga medis dan tenaga kesehatan yang menjalankan praktik dan fasilitas pelayanan kesehatan, diwajibkan untuk memberikan pertolongan pertama kepada pasien dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana.
- Khusus tenaga medis dan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan dalam rangka tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kedisabilitasan seseorang pada keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana dikecualikan dari tuntutan ganti rugi.
Hak dari pasien diatur dalam Pasal 276 UU No.17/2023 tentang Kesehatan, antara lain:
- Mendapatkan informasi mengenai kesehatan dirinya.
- Mendapatkan penjelasan yang memadai pelayanan kesehatan yang diterimanya.
- Mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, standar profesi, dan pelayanan yang bermutu.
- Menolak atau menyetujui tindakan medis, kecuali untuk tindakan medis yang diperlukan dalam rangka pencegahan penyakit menular dan penanggulangan KLB atau Wabah.
- Mendapatkan akses terhadap informasi yang terdapat di dalam rekam medis.
- Meminta pendapat tenaga medis atau tenaga kesehatan.
- Mendapatkan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Berdasarkan ketentuan mengenai kewajiban dokter dan hak pasien tersebut, undang-undang menentukan bahwa dokter berkewajiban untuk menjaga rahasia kesehatan pasien serta membuat dan menyimpan setiap catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan terhadap pasien. Kewajiban untuk menjaga rahasia kesehatan dan tindakan ini juga diperkuat melalui Pasal 4 huruf (i) UU No.17/2023 tentang Kesehatan, di mana “setiap orang berhak…memperoleh kerahasiaan data dan informasi kesehatan pribadinya”. Dalam Pasal 296 ayar (5) undang-undang yang sama, dokter juga ditegaskan untuk menyimpan dan menjaga kerahasiaan hasil rekam medis pasien.
Secara spesifik, ketentuan mengenai rahasia kesehatan pasien dituangkan dalam Pasal 301 UU No.17/2023 tentang Kesehatan, dengan ketentuan sebagai berikut. Setiap dokter wajib menyimpan rahasia kesehatan pribadi pasien. Rahasia kesehatan sendiri meliputi riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, serta psikis, termasuk data pribadi pasien. Pembukaan rahasia kesehatan pribadi pasien dapat dilakukan untuk kepentingan tertentu. Adapun yang dimaksud dengan kepentingan tertentu tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU No.17/2023 tentang Kesehatan, di mana kerahasiaan data dan informasi kesehatan pribadi pasien tidak berlaku dalam hal:
- Pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum.
- Penanggulangan KLB, wabah, atau bencana.
- Kepentingan pendidikan dan penelitian secara terbatas.
- Upaya perlindungan terhadap bahaya ancaman keselamatan orang lain secara individual atau masyarakat.
- Kepentingan pemeliharaan kesehatan, pengobatan, penyembuhan, dan perawatan pasien.
- Permintaan pasien sendiri.
- Kepentingan administratif, pembayaran asuransi, atau jaminan pembiayaan kesehatan.
- Kepentingan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Merujuk pada ketentuan Pasal 301 UU No.17/2023 tentang Kesehatan, terlihat bahwa dokter berkewajiban untuk menjaga tidak hanya rahasia kesehatan berupa riwayat sakit, kondisi dan perawatan, serta pengobatan kesehatan dan psikis pasien, namun juga data pribadi dari pasiennya. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, data pribadi definisikan sebagai:
“data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau nonelektronik”.Masih dalam UU No.27/2022, data pribadi berdasarkan Pasal 4 terdiri atas data pribadi yang bersifat spesifik dan bersifat umum. Data pribadi yang bersifat spesifik meliputi data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Data pribadi yang bersifat umum meliputi nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, status perkawinan, dan data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang.
Setiap orang yang melekat data pribadi pada dirinya, termasuk pasien yang memiliki data dan informasi kesehatan tertentu, berhak mendapatkan informasi tentang kejelasan identitas, dasar kepentingan hukum, dan tujuan permintaan dan penggunaan data pribadinya. Dalam hal ini, setiap orang yang memiliki data pribadi berhak untuk menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap permintaan, penggunaan, dan penyebarluasan data pribadinya, termasuk dalam hal data dan informasi kesehatan. Pasal 12 UU No.27/2022 secara spesifik menentukan bahwa setiap orang berhak menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran permintaan, penggunaan, dan penyebarluasan data pribadinya.
Berdasarkan ketentuan UU No.17/2023 tentang Kesehatan dan UU No.27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi tersebut di atas, diketahui bahwa data dan informasi kesehatan (yang merupakan bagian dari data pribadi seseorang) merupakan milik pasien. Tanpa alasan-alasan yang dibenarkan hukum, sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (4) UU No.17/2023 tentang Kesehatan, permintaan, penggunaan, dan penyebarluasan data dan informasi kesehatan pasien tanpa persetujuan pasien adalah perbuatan yang melawan hukum. Selain karena faktor hak pasien tersebut, undang-undang juga memerintahkan dokter untuk menyimpan dan merahasiakan data dan informasi kesehatan pasiennya.
Dengan demikian, dalam konteks peristiwa di mana seorang dokter menyebarluaskan cerita-cerita mengenai pasiennya tanpa seizin pasien tersebut, maka tindakan ini pada prinsipnya dapat melanggar hak pasien atas kerahasiaan data dan informasi kesehatannya. Namun demikian, perlu diperhatikan juga bahwa pelanggaran dapat terjadi ketika data dan informasi kesehatan yang disebarluaskan itu dapat membuat orang lain mengidentifikasi siapa pemilik data dan informasi tersebut. Dalam hal ini, perlindungan data pribadi jo. kerahasiaan data informasi kesehatan berada dalam konteks perlindungan “diri pribadi”. Dengan demikian, setiap data dan informasi yang disebarkan tanpa mencantumkan data pribadi yang bersifat umum seperti nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, status perkawinan, dan/atau data pribadi kombinasi untuk mengidentifikasi seseorang, maka penyebarluasan ini masih berada dalam koridor hukum yang sah, mengingat pendengar cerita tidak dapat mengidentifikasi diri pribadi di balik data/informasi yang disebarluaskan, termasuk dalam konteks data dan informasi kesehatan.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.
Share this post