Pelanggaran Hukum dalam Penjualan Obat Keras Tanpa Resep melalui Media Sosial
-
Seperti yang diketahui, obat keras hanya boleh diperjualbelikan dengan resep langsung dari dokter karena perlu penyesuaian dengan kondisi konsumen. Namun, saat ini dengan kemajuan media sosial, akses terhadap berbagai hal termasuk obat-obatan keras semakin mudah. Bagaimana hukum mengatur penjualan obat-obatan keras tanpa resep dokter yang dilakukan melalui media sosial? Apa konsekuensi hukum bagi mereka yang terlibat dalam praktik ini?
-
Penjawab: Dzaki Jenevoa Kartika
(Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia)Penjualan obat keras tanpa resep dokter yang dilakukan melalui media sosial merupakan tindakan yang melanggar hukum di Indonesia.
Obat pada dasarnya terbagi menjadi obat dengan resep dan obat tanpa resep. Kategori obat dengan resep mencakup obat keras, narkotika, dan psikotropika. Berdasarkan UU Kesehatan 2023, obat-obat ini diberikan oleh apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini berarti obat keras tidak dapat dibeli tanpa resep dokter. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Kepmenkes 02396/1986 yang menyatakan bahwa:
Pada etiket dan bungkus luar obat jadi yang tergolong obat keras harus dicantumkan secara jelas tanda khusus untuk obat keras.Ketentuan dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelengkap dari keharusan mencantumkan kalimat “Harus dengan resep dokter” yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977.
Tanda khusus dapat tidak dicantumkan pada blister, strip, aluminium/selofan, vial, ampul, tube atau bentuk wadah lain, apabila wadah tersebut dikemas dalam bungkus luar.
Namun, berdasarkan UU Kesehatan 2023 Pasal 320 ayat (5), "Selain Obat bebas dan Obat bebas terbatas, Obat keras tertentu dapat diserahkan oleh apoteker tanpa resep sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Hal ini diperjelas di Pasal 2 Permenkes 919/1993 yang mengatur bahwa obat tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut:- Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun, dan orang tua di atas 65 tahun.
- Pengobatan sendiri dengan obat tersebut tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.
Penggunaannya tidak memerlukan cara dan/atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia. - Obat tersebut memiliki rasio khasiat dan keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
- Jika melanggar peraturan, UU Kesehatan 2023 mengatur bahwa produksi atau peredaran sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu dapat dikenakan pidana penjara hingga 12 tahun atau denda hingga Rp5 miliar (Pasal 435). Selain itu, praktik kefarmasian tanpa keahlian dan kewenangan dapat dikenakan denda hingga Rp200 juta, dan jika terkait dengan obat keras, pelaku dapat dipidana penjara hingga 5 tahun atau denda hingga Rp500 juta (Pasal 436).
Selain itu, UU Perlindungan Konsumen 1999 mengatur dalam Pasal 8 ayat (1) bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. Pelanggaran ketentuan ini dapat dikenakan pidana penjara hingga 5 tahun atau denda hingga Rp2 miliar sesuai dengan Pasal 62.
Konsekuensi Hukum
- Pidana Penjara dan Denda: Pelaku yang terbukti menjual obat keras tanpa resep dokter dapat dikenakan pidana penjara dan/atau denda, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
- Sanksi Administratif: Selain pidana, pelaku juga dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha, penutupan tempat usaha, atau sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Kerugian Materiil dan Imateriil: Pelaku juga dapat dituntut oleh konsumen yang dirugikan untuk mengganti kerugian materiil dan imateriil yang diakibatkan oleh penjualan obat keras tanpa resep.
Sehingga, penjualan obat keras hanya dibolehkan dengan resep dokter karena obat jenis ini memerlukan pengawasan ketat untuk mencegah penyalahgunaan dan risiko kesehatan. Berdasarkan peraturan yang berlaku, seperti UU Kesehatan 2023 dan Kepmenkes 02396/1986, obat keras termasuk narkotika dan psikotropika hanya bisa diberikan oleh apoteker atas resep dokter. Penjualan obat keras tanpa resep, apalagi melalui media sosial, melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi berat, termasuk pidana penjara, denda, serta sanksi administratif, sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan dan UU Perlindungan Konsumen 1999.
Share this post