Penjawab: Dr. Andi Widiatno, S.Kom., S.H., M.H., C.TA., C.MED. dan ⁠Olivia Pauline Hartanti, S.H., M.H.
(Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Trisakti)

Dalam keadaan mengenai pinjaman online, perlu diketahui bahwa terdapat dua peraturan pokok yang mengatur yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK 10/2022).

Berdasarkan ketentuan di dalam POJK 10/2022, di dalam terjadinya perjanjian pinjaman online terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat, yaitu: (i) LPBBTI (Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi) atau Platform; (ii) Pemberi Dana atau Kreditur; dan (iii) Penerima Dana atau Debitur. Perjanjian pinjaman online akan terbentuk pada saat adanya kesepakatan untuk melakukan pinjaman uang oleh pemberi dana kepada penerima dana. Platform pada posisinya hanya sebagai media yang mempertemukan pemberi dana dan penerima dana, sekaligus menjadi media pendukung secara adminsitrasi untuk terlaksananya suatu perjanjian pinjaman online.

Dalam hal dikategorikan bahwa suatu pinjaman online ilegal, maka pertama perlu dilihat kembali status dari kata ‘ilegal’, yang dalam hal ini artinya bahwa ini terdapat subjek hukum atau objek hukum yang tidak sah menurut hukum. Ilegal di dalam kategori pinjaman online berdasarkan Pasal 21 ayat (1) POJK 10/2022 adalah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara sehingga akan diberikan sanksi administrative dalam bentuk peringatan tertulis; pembatasan kegiatan usaha; dan/atau pencabutan izin, yang diberikan dan ditetapkan oleh OJK.

Untuk perjanjian pinjam-meminjam meskipun dilakukan secara tradisional maupun digital masih menerapkan peraturan yang ketentuannya diatur di dalam KUHPerdata khususnya perjanjian dibuat dan sah dapat diberlakukan. Berdasarkan syarat sah-nya suatu perjanjian yang telah diatur pada Pasal 1320 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), yang berbunyi sebagai berikut:

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; suatu sebab yang halal.”

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif, sehingga wajib hukumnya dipenuhi secara keseluruhan. Syarat 1 (satu) dan 2 (dua) merupakan syarat subjektif (berkaitan dengan pihak yang melakukan perjanjian) yang apabila tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat diajukan pembatalannya oleh pihak dalam perjanjian. Sedangkan dua syarat lainnya merupakan syarat objektif (berkaitan dengan objek yang diperjanjikan), yang apabila tidak terpenuhi unsurnya, maka perjanjiannya dinyatakan batal demi hukum. Dapat dilihat bahwa perjanjian pinjam-meminjam secara online adalah tindakan yang sah secara hukum karena telah memenuhi persyaratan untuk menjadi sah-nya suatu perjanjian.

Atas hal tersebut di atas, untuk dapat mengatakan bahwa tidak adanya keperluan untuk membayar atau setidaknya meminta pembatalan perjanjian, maka hal ini perlu dibawa ke pengadilan untuk diperiksa apakah perjanjian ini, khususnya subjek hukumnya untuk diperiksa kecakapan hukumnya, apakah dia cakap atau tidak.

Bagaimana perlindungan terhadap pemberi pinjaman dalam kasus Pinjaman Online Ilegal tersebut?

Pada dasarnya karena pemberi pinjaman dalam kasus ini ilegal, sehingga diperlukan adanya pemeriksaan khusus oleh pengadilan. Di Indonesia sendiri belum terdapat peraturan yang secara spesifik mengatur mengenai perlindungan terhadap pemberi jaminan, akan tetapi dikarenakan ini pokoknya adalah mengenai perjanjian pinjam-meminjam dan adanya kesepakatan, maka perlindungan yang dapat diberikan terdapat di dalam perjanjian yang telah dibuat antara para pihak. Dikarenakan berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dasar Hukum:
​Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.