Penjawab:
Dr. Andi Widiatno Hummerson, S.H., S.Kom., M.H., C.TA., C.Med. dan Olivia Pauline Hartanti, S.H., M.H.
Debt Collector diartikan sebagai seorang individu atau sekumpulan orang yang memberikan jasa untuk menagih utang seseorang atau lembaga yang menyewa jasa mereka. Pada awalnya diatur dalam KUH Perdata bahwa mereka (debt collector) bekerja dibawah kuasa yang diberikan oleh kreditur untuk melakukan penagihan hutang.
Untuk badan usaha yang menjalankan jasa keuangan, debt collector menjadi suatu entitas yang diakui keberadaan hukumnya guna untuk melakukan penagihan utang atas nama kreditur. Dasar hukumnya yaitu ada pada Pasal 191 ayat (1) huruf a PBI 23/2021 yang berkaitan dengan penagihan kartu kredit; Pasal 48 ayat (1) – (5) POJK 35/2018 mengenai penagihan utang oleh perusahaan pembiayaan kepada debitur; Pasal 102-103 POJK 10/2022 dan SE OJK 19/2023 yang berkaitan dengan ketentuan pengahina utang pada fintech atau layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (termasuk salah satunya pinjaman online).
Terkhususkan untuk pinjaman online, pada POJK 10/2022, telah diatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kreditur guna untuk dapat melakukan penagihan menggunakan debt collector, yaitu:
Dalam hal penerima dana wanprestasi, penyelenggara wajib melakukan penagihan minimal dengan memberikan surat peringatan sesuai dengan jangka waktu perjanjian pendanaan.
Penyelenggara dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan yang wajib memenuhi ketentuan bahwa pihak lain tersebut: berbadan hukum; memiliki izin dari instansi berwenang; dan memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari lembaga sertifikasi profesi yang terdaftar di OJK; dan bukan merupakan afiliasi dari pihak penyelenggara atau pemberi dana.
Penyelenggara wajib bertanggung jawab penuh atas segala dampak yang ditimbulkan dan melakukan evaluasi secara berkala dengan pihak lain tersebut.
Pada saat konsumen dihadapkan kepada debt collektor yang menggunakan intimidasi dan kekerasan saat penagihan utang, tentunya penagihan melalui debt collector (pihak ke-3) dengan cara kekerasan itu tidak diperbolehkan. Hal ini tercantum dalam Pasal 7 POJK Nomor 6/POJK.07/2022 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan (PUJK). Pasal 7 ayat (1) menyatakan PUJK wajib mencegah Direksi, Dewan Komisaris, Pegawai, dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk atau mewakili kepentingan PUJK dari perilaku memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain; dan/atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya, yang berakibat merugikan Konsumen. Kemudian Pasal 7 ayat (2) juga menyatakan PUJK wajib memiliki dan menerapkan kode etik Perlindungan Konsumen dan Masyarakat yang telah ditetapkan oleh masing-masing PUJK.
AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) sebagai organisasi yang mewadahi pelaku usaha pendanaan online, telah mengatur mengatur pedoman beretika debt collector, yaitu:
menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan pihak lain yang bekerja sama dengan penyelenggara, yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan;
penagihan tidak diperkenankan dilakukan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan, dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan penerima dana (debitur);
penagihan tidak diperkenankan dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal;
dilakukan dengan menghindari penggunaan kata dan/atau tindakan yang mengintimidasi dan merendahkan SARA, harkat, martabat, dan harga diri, di dunia fisik maupun di dunia maya (cyber bullying) kepada penerima dana, kontak daruratnya, kerabat, rekan, keluarga, dan harta bendanya;
penagihan tidak diperkenankan dilakukan kepada pihak selain penerima dana;
penagihan menggunakan sarana komunikasi tidak diperkenankan dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu;
penagihan hanya dapat dilakukan melalui jalur pribadi, di tempat alamat penagihan, atau domisili penerima dana;
penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 – 20.00 wilayah waktu alamat penerima dana; dan
penagihan di luar tempat dan/atau waktu sebagaimana diatur pada angka 7 dan 8 hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan penerima dana terlebih dahulu.
Hal ini berarti ketika Konsumen dihadapkan oleh seorang debt collector tidak perlu cemas, karena ada aturan yang mengatur mengenai PUJK ini, dan jika terdapat intimidasi apalagi sampai tindakan kekerasan pada saat menagih hutang, telah terdapat dasar hukum yang dapat digunakan untuk melakukan pelaporan atas kejadian tersebut. Bisa dilakukan dengan melakukan laporan kepada polisi berdasarkan Pasal 315 KUHP dan Pasal 436 UU No. 1 Tahun 2023 yang mengatur mengenai penghinaan ringan yang dapat dipidana. Untuk debt collector yang melakukan kekerasan dapat diancm dengan pidana Pasal 351 KUHP dan Pasal 466 UU No. 1 Tahun 2023 dengan dasar penganiayaan.
Untuk pertanggungjawaban kepada konsumen, sebagaimana yang telah diatur dalam POJK Nomor 6/POJK.07/2022 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, pada pasal 8 ayat (1) telah ditegaskan mengenai tanggung jawab PUJK, dimana PUJK bertanggung jawab atas kerugian Konsumen yang timbul akibat kesalahan, kelalaian dan/atau perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya, dalam hal tanggung jawab ini dapat disepaki oleh Konsumen dan PUJK khususnya pada perjanjian hutang piutang.
Berdasarkan hal tersebut, PUJK dalam hal ini platform pinjaman online pada dasarnya dapat dimintai pertanggung jawaban sebagai pihak yang bertanggung jawab jika terjadi tindakan yang dilakukan oleh debt collector yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dasar Hukum:
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyedia Jasa Pembayaran.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10 Tahun 2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Surat Keputusan Pengurus Perkumpulan Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (“AFPI”) No. 002/SK/COC/INT/IV/2020 Perihal Penetapan Peraturan Khusus Pedoman Perilaku AFPI tahun 2020.