Penjawab: N.Budi Arianto Wijaya, S.H, M.Hum.
(Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Berdasarkan pertanyaan yang diajukan bahwa pembeli membuat perjanjian jual beli bangunan perumahan (rumah) pada saat unit rumah yang akan dibeli belum dibangun maka perlu dibahas apakah persyaratan menjual rumah yang belum dibangun.Pada saat dibangun ternyata spesifikasi bahan bangunannya tidak sesuai dengan kesepakatan awal antara pembeli dengan pengembang dan dalam perjanjian yang dibuat tidak mencakup ketentuan perlindungan terhadap pembeli apabila pengembang melakukan pelanggaran tersebut maka perlu dibahas bagaimana perlindungan hukum terhadap pembeli.

Untuk menjawab pertanyaan di atas harus melihat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perjanjian secara umum termasuk akibat hukum dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak yaitu diatur pada Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Tentang Perikatan dan secara khusus melihat perjanjian jual beli rumah yang belum dibangun. Jual beli rumah yang belum dibangun dikenal dengan istilah Perjanjian Pendahuluan Jual Beli (PPJB) yang diatur pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman sebagaimana telah dirubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Lebih lanjut PPJB diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

Berdasarkan Pasal 42 UU No 6 Tahun 2023 pelaku pembangunan dapat melakukan pemasaran rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan melalui sistem PPJB. PPJB dapat dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:

a. status pemilikan tanah;
b. hal yang diperjanjikan;
c. Persetujuan Bangunan Gedung;
d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
e. keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).

Berdasarkan Penjelasan Pasal 42 UU No 6 Tahun 2023 ditentukan bahwa PPJB adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang. Pada pasal tersebut tidak disebutkan pejabat apa yang berwenang untuk membuat PPJB ini, namun kemudian pada Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman (PP Nomor 12 tahun 2021) dijelaskan bahwa PPJB tersebut dibuat dihadapan Notaris.

PPJB merupakan perjanjian permulaan sebelum menuju pada pembuatan Akta Jual Beli (AJB) dan PPJB bukan merupakan bukti berpindahnya hak kepemilikan tanah dan/atau bangunan dari penjual pada pembeli melainkan hanya sebagai pengikat atas kesepakatan yang telah terjadi. Pembuatan PPJB dilakukan oleh para pihak dihadapan Notaris, sementara itu, pembuatan AJB dilakukan oleh para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Perjanjian Pengikatan Jual Beli pada umumnya dibuat ketika para pihak hendak melakukan jual-beli, namun masih ada proses-proses yang belum selesai maupun masih adanya pembayaran yang belum lunas.

Pembuatan PPJB ini sama halnya dengan pembuatan perjanjian pada umumnya, sehingga harus memenuhi asas-asas perjanjian pada umumnya serta harus tunduk pula pada ketentuan-ketentuan umum dalam KUH Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1319 KUH Perdata. Ketika hendak membuat PPJB perlu memperhatikan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, syarat-syarat tersebut yaitu:

Kesepakatan para pihak;
Kesepakatan merupakan persesuaian kehendak antara pihak yang satu dengan yang lain. Persesuaian kehendak ini merupakan proses bertemunya penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) yang saling berkaitan satu sama lain. Kecakapan para pihak;
Berdasarkan Pasal 1329 KUH Perdata ditentukan bahwa pada dasarnya setiap orang berwenang untuk membuat perikatan (perjanjian) kecuali ia merupakan golongan orang yang tidak cakap. Suatu hal tertentu; dan
Obyek dan segala hal dalam perjanjian harus merupakan hal yang jelas sekalipun obyek tersebut belum ada atau sedang dalam proses pembuatan. Hal tertentu dalam syarat sahnya perjanjian berarti bahwa apa yang diperjanjikan baik mengenai hak dan kewajiban para pihak serta paling tidak jenis barang yang diperjualbelikan sudah ditetapkan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1333 KUH Perdata. Suatu sebab yang tidak terlarang (causa yang halal).
Isi/obyek perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusuilaan, dan ketertiban umum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
Pembuatan PPJB sama halnya dengan pembuatan perjanjian pada umumnya, sehingga PPJB tersebut harus dianggap sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya ( asas pacta sunt servanda) serta harus dilaksanakan dengan itikad baik (asas itikad baik atau goede trouw) sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Maksud dari hal itu adalah bahwa hal-hal yang termuat dalam PPJB harus dilaksanakan dengan pantas, baik pantas secara rasio (layak) maupun pantas secara moral (patut) dan PPJB tersebut berlaku mengikat bagi para pihak yang membuatnya selayaknya undang-undang, sehingga segala konsekuensi yang timbul harus dipertanggungjawabkan. Pasal 1338 KUH Perdata merupakan akibat hukum dari suatu perjanjian yang dibuat secara sah. Pasal 1338 KUH Perdata ini mengikat terhadap PPJB yang telah dibuat antara pembeli dan pengembang. Apabila pengembang dalam membangun unit rumah tidak sesuai spesifikasi bahan yang telah disepakati maka dapat dikatakan pengembang tidak beritikad baik atau bisa dikatakan bahwa pengembang telah melakukan wanprestasi. Tidak menjadi persoalan apabila dalam PPJB yang dibuat tidak ada sanksi bagi pengembang yang melanggar perjanjian, ketentuan mengenai wanprestasi yang ada pada KUH Perdata dapat diberlakukan kepada pengembang.
Wanprestasi terjadi apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan atau lalai melaksanakan prestasi (kewajiban) yang menjadi objek perikatan antara mereka dalam perjanjian. Bentuk wanprestasi yaitu : Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan; Melaksanakan yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; dan Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.

Apabila pengembang membangun unit rumah dengan spesifikasi bahan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan maka dapat dikatakan bahwa pengembang telah melakukan wanprestasi khususnya bentuk wanprestasi melaksanakan yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. Berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata kepada pihak yang dirugikan akibat dari wanprestasi diberikan hak untuk menggugat dengan meminta pengadilan agar memaksa pihak yang wanprestasi untuk kembali melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian atau meminta pengadilan menghentikan perjanjian tersebut dan menghukum pihak yang wanprestasi untuk membayar ganti rugi.
Secara khusus pada UU No 6 Tahun 2023 Pasal 134 diatur bahwa Setiap orang dilarang menyelenggarakan perumahan yang tidak sesuai dengan spesifikasi, persyaratan, Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum yang diperjanjikan. Pasal 151 menegaskan adanya sanksi pidana denda bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 134. Berdasarkan ketentuan kedua pasal di atas maka apabila pengembang melakukan pembangunan tidak sesuai spesifikasi bahan dapat dikategorikan melanggar Pasal 134 dan dapat dikenakan pidana denda seperti diatur pada Pasal 151.
Terlepas Pengembang dapat dinyatakan wanprestasi dan dapat diminta memberikan ganti kerugian berdasarkan ketentuan yang ada pada KUH Perdata atau dapat dijatuhkan sanksi pidana denda seperti diatur pada Pasal 151 UU No 6 Tahun 2023, sebaiknya penyelesaian sengketa di bidang perumahan terlebih dahulu diupayakan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat seperti diatur pada Pasal 147 UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Undang- Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman;
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti; Undang-Undang No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman;
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah; Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

Referensi:
Simanjuntak, R. (2011). Hukum Kontrak (Teknik Perancangan Kontrak Bisnis). Jakarta: Kontan Publishing. 2011.