Berkaitan dengan pertanyaan pertama, yaitu apakah tindakan pelaku usaha yang menjual barang tidak sesuai dengan yang diiklankan dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan/tindakan pidana. Perbuatan/tindakan pidana merujuk pada tindakan yang melanggar hukum pidana, baik disengaja maupun tidak, yang dilakukan oleh individu yang dapat bertanggung jawab atas perbuatannya. Berdasarkan definisi tersebut, untuk dapat mengatakan suatu perbuatan/tindakan merupakan suatu perbuatan/tindakan pidana, maka perbuatan/tindakan itu harus telah ditetapkan oleh undang-undang pidana sebagai perbuatan/tindakan pidana. Selain itu, ada juga yang mendefinisikan perbuatan/tindakan pidana sebagai suatu perbuatan/tindakan yang dilarang oleh suatu norma hukum, yang kemudian diberi ancaman sanksi pidana berupa hukuman tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut.

Mengenai ketidaksesuaian barang yang diiklankan dengan barang yang sebenarnya dijual, ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang larangan penipuan dapat dirujuk. Dalam KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan, Pasal 378 KUHP menyatakan bahwa:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”

Dalam KUHP yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (mulai berlaku pada 2026), Pasal 492 KUHP yang baru menyatakan bahwa:
“Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”

Merujuk pada Pasal 378 KUHP dan Pasal 492 KUHP yang baru, dapat disimpulkan bahwa dalam tindak pidana penipuan, pelaku tidak menggunakan paksaan, melainkan menggunakan tipu muslihat untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut melakukan tindakan tertentu. Dengan demikian, unsur-unsur objektif dari perbuatan/tindakan penipuan adalah: (1) adanya perbuatan untuk menggerakkan/membujuk orang lain; (2) perbuatan tersebut bertujuan agar orang lain menyerahkan suatu benda, memberi utang, atau menghapuskan utang; dan (3) perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan nama palsu, tipu muslihat, martabat palsu, atau rangkaian kebohongan.

Berdasarkan unsur-unsur objektif tersebut, tindakan pelaku usaha yang menjual barang tidak sesuai dengan yang diiklankan dapat saja dikategorikan sebagai tindakan penipuan sepanjang tindakan pelaku usaha tersebut dapat dikonstruksi memenuhi unsur-unsur tersebut. Namun, dalam KUHP, pasal penipuan yang secara khusus menyangkut penjual/pelaku usaha diatur dalam Pasal 383 KUHP. Pasal 383 KUHP sendiri menyatakan bahwa:
"Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli:

Karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli; Mengenai jenis, keadaan, atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat."

Berdasarkan Pasal 383 KUHP tersebut di atas, untuk dianggap melakukan penipuan, Anda harus memenuhi beberapa unsur penting dalam delik penipuan, yaitu:

perbuatan curang yang dilakukan oleh penjual kepada pembeli; perbuatan curang tersebut mengenai jenis, keadaan, atau jumlah barang yang diserahkan; perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan tipu muslihat.

Jika tindakan pelaku usaha yang menjual barang tidak sesuai dengan yang diiklankan terbukti memenuhi unsur-unsur di atas, maka perbuatan/tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 383 KUHP.

Berkaitan dengan pertanyaan kedua, yaitu berdasarkan dasar hukum apa hal tersebut dapat dinilai, Anda dapat menggunakan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen). Dalam hal ini, Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa perlindungan konsumen adalah rangkaian usaha yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Merujuk pada Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen, tujuan dari perlindungan konsumen, antara lain, untuk (1) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; (2) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; (3) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; dan (4) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Adapaun cakupan perlindungan konsumen berdasarkan UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi dua aspek, yaitu: (1) perlindungan terhadap kemungkinan bahwa barang yang diserahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati dengan konsumen; dan (2) perlindungan terhadap konsumen yang dikenakan syarat-syarat yang tidak adil.

Untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa hak konsumen meliputi hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Melalui pasal yang sama, UU Perlindungan Konsumen juga memungkinkan setiap konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Itulah sebabnya, setiap pelaku usaha berkewajiban berdasarkan Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan produk yang dijualnya. Masih dalam pasal yang sama, pelaku usaha juga diwajibkan untuk menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Kewajiban-kewajiban pelaku usaha tersebut juga diikuti dengan kewajiban mereka untuk memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan oleh konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

Berdasarkan hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut di atas, pengiklanan dari pelaku usaha atas produk yang dijual wajib mengandung informasi yang akurat, jujur, dan sesuai dengan kenyataan. Bahkan, UU Perlindungan Konsumen menegaskan kewajiban tersebut dengan normal larangan bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan barang dan/atau jasa tidak sesuai dengan barang dan/atau jasa yang diiklankan. Larangan ini dapat ditemukan dalam BAB IV tentang Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha dalam UU Perlindungan Konsumen.

Lantas, bagaimana jika dalam praktiknya, konsumen tetap saja menerima produk yang tidak sesuai dengan yang diiklankan oleh pelaku usaha? Berdasarkan Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha pada prinsipnya bertanggung jawab memberikan ganti rugi kepada konsumen. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen mengatur bahwa:

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Dengan diberlakukannya UU Perlindungan Konsumen tersebut, konsumen diberikan hak untuk menuntut perlindungan jika mereka merasa dirugikan oleh tindakan pelaku usaha yang memberikan produk tidak sesuai dengan yang diiklankan.

Referensi:
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Wiwik Sri Widiarty, Hukum Perlindungan Konsumen, Depok: PT Komodo Books, 2016.
Elia WUria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2015.
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1986.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2007.
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, 2014.
Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Fakultas Hukum Undip, Bandung, 1984.

Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Dzaki Jenevoa Kartika (PUSHAM UII)