Penjawab: Siti Nur Alisa, S.H.
(Lembaga Bantuan Hukum Makassar)

@veronika-ananda Tiket Elektronik adalah suatu cara mendokumentasikan proses penjualan online yang hasil keluarannya berupa tiket yang dapat memudahkan orang untuk membeli tiket untuk berbagai acara semua konser dalam satu situs web. Tiket dapat dibeli online melalui pembayaran dengan metode transfer ataupun kartu kredit. Permasalahannya adalah pembeli masih perlu menukarkan tiket elektronik menjadi tiket fisik sebelum memasuki tempat acara.
Perjanjian jual beli melalui internet hampir sama dengan perjanjian jual beli pada umumnya, yang membedakan adalah media yang digunakan pada saat perjanjian itu terjadi yaitu melalui internet. Maka dari itu perjnajian jual beli melalui internet tunduk pada PP No.80/2019 Tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik selain itu juga harus tunduk pada aturan induk megenai syarat sahnya perjanjian yang diatur pada KUHPerdata.
Pasal 1320 mengatur bahwa syarat sah perjanjian adalah:

Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Suatu pokok persoalan tertentu Suatu sebab yang tidak terlarang
Pasal 52 PP No.80/2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik mengatur bahwa:
Kontrak Elektronik sah dan mengikat para pihak apabila:
a. sesuai dengan syarat dan kondisi dalam Penawaran Secara Elektronik;
b. informasi yang tercantum dalam Kontrak Elektronik sesuai dengan informasi yang tercantum dalam Penawaran Secara Elektronik;
c. terdapat kesepakatan para pihak, yaitu syarat dan kondisi penawaran yang dikirimkan oleh pihak yang menyampaikan penawaran, diterima dan disetujui oleh pihak yang menerima penawaran;
d. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Terdapat hal tertentu; dan
f. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Perjanjian jual beli Tiket Elektronik adalah sah apabila memenuhi unsur-unsur tersebut, meskipun terdapat pengecualian pada unsur subjektifnya mengenai kecakapan melakukan karena tidak dapat diverifikasi secara langsung, yang apabila tidak terpenuhi mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan, namun apabila tidak dibatalkan tetap berlaku dan mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri.
Dalam konteks kasus di atas, maka perjanjian jual beli tiket elektronik tersebut tidak memenuhi unsur “sesuai dengan syarat dan kondisi dalam Penawaran Secara Elektronik” karena Penjual dalam hal ini melakukan penjualan tiket yang tidak sesuai dengan syarat dan kondisi dalam penawaran. Yang harusnya Pembeli memperoleh tiket fisik pada saat ditukarkan, namun tidak bisa karena dianggap palsu, padahal di beli pada platform yang sama dan resmi.
Selain itu perjanjian tersebut juga tidak memenuhi unsur “suatu pokok persoalan tertentu” dikarenakan ditinjau dari sifat tiket elektronik yang memiliki nomor seri yang hanya dapat digunakan satu kali dan oleh 1 orang saja. Sehingga apabila terdapat 2 tiket yang sama yang dibeli pada pelaku usaha yang sama, mengakibatkan salah satu tiket tersebut menjadi tidak berlaku, kerena tiket elektronik yang diakui pada saat memasuki tempat konser adalah tiket fisik. Sehingga apabila pembeli yang satu telah menukarkan tiketnya lebih dahulu, maka pembeli lainnya telah melakukan perjanjian jual beli yang tidak berobjek. Untuk menentukan siapa yang lebih berhak dari kedua tiket tersebut adalah dapat dilihat pada siapa yang lebih dahulu melakukan pembayaran, namun tentu saja hak-hak pembeli yang lain yang tidak mendapatkan tiket berhak atas pengembalian dan/atau ganti rugi dari pelaku usaha tersebut.
Pembelian Tiket Elektronik yang sama yang dibeli pada situs resmi/pelaku usaha yang sama memperlihatkan bahwa pelaku usaha tersebut tidak beritikad baik pada saat melakukan transaksi jual beli karena menjual barang yang telah dibeli oleh pembeli lainnya yang mengakibatkan tidak terpenuhinya unsur “suatu sebab yang tidak dilarang”. Perbuatan pelaku usaha tersebut menimbulkan kerugian bagi konsumennya.
Perjanjian jual beli tiket elektronik yang objek perjanjiannya sama sebagaimana kasus yang terjadi di atas mengakibatkan salah satu perjanjian jual beli tiket elektronik tersebut batal demi hukum karena tidak memenuhi unsur objektif perjanjian yakni “suatu pokok persoalan tertentu” dan “seuatu sebab yang tidak terlarang” serta unsur “sesuai dengan syarat dan kondisi dalam Penawaran Secara Elektronik”. Sehingga berdasarkan penjelasan di atas maka konsumen/pembeli tersebut dapat menuntut kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian yang merupakan kewajiban pelaku usaha, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf g UU No.8/1999 tentang perlindungan konsumen.
Adapun upaya penyelesaian yang dapat ditempuh oleh Konsumen yang merasa dirugikan dapat ditempuh melalui jalur litigasi dan non-litigasi. Penyelesaian melalui jalur litigasi dapat ditempuh dengan mengajukan gugatan ke pelaku usaha ke pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 UU No.8/1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur bahwa: “penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45”.
Selain itu dapat juga ditempuh dengan jalur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE bahwa Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Adapun sanksi pidana jika melanggar Pasal 28 ayat (1) UU ITE diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penyelesaian melalui jalur Non-Litigasi dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugan yang diderita oleh konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen Non-litigasi dapat ditempuh melalui Badan Penyelenggara Sengketa Konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 49 sampai pasal 58 UU No.8/1999 tentang perlindungan konsumen.

Dasar Hukum:
Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 Tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.