Penjawab: Sahid Hadi, S.H., M.H.
(Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia)
Dalam kasus tersebut, dapat dikatakan bahwa telah terjadi hubungan keperdataan dalam bentuk perdagangan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP 80/2019), perdagangan merujuk pada kegiatan yang terkait dengan transaksi barang dan/atau jasa di dalam negeri, termasuk melampaui batas wilayah negara, dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi. Berdasarkan pertanyaan Anda, dapat dikatakan bahwa objek perdagangannya adalah sepatu.
Dalam transaksi yang dilakukan melalui sistem elektronik ini, toko tempat Anda membeli sepatu dapat disebut sebagai pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik menurut Pasal 1 angka 7 PP 80/2019, yaitu setiap orang perseorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang dapat berupa pelaku usaha dalam negeri maupun luar negeri dan melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan melalui sistem elektronik. Anda selaku pembeli dikategorikan sebagai konsumen, yang berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999) didefinisikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan apa yang Anda sebut platform tempat pelaku usaha menjual dan mempromosikan barangnya (baca: platform e-commerce), PP 80/2019 mengkategorikan platform yang dimaksud sebagai Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE), yaitu pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
Berdasarkan status para pihak tersebut di atas, terlihat jelas perbedaan objek usaha antara pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik dengan pelaku usaha PPMSE. Merefleksikan pertanyaan Anda, maka sepatu yang dijual dapat kita sebut sebagai objek usaha dari pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik, bukan pelaku usaha PPMSE.
Berkaitan dengan pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik, Pasal 8 ayat (1) huruf f UU 8/1999 melarang pelaku usaha untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa. Maka dari itu, beberapa prinsip penting ditekankan dalam perdagangan melalui sistem elektronik berdasarkan Pasal 3 PP 80/2019. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menjaga keamanan dan keadilan dalam transaksi melalui sistem elektronik, serta membangun kepercayaan antara para pihak yang terlibat.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
Prinsip itikad baik; prinsip kehati-hatian; transparansi; keterpercayaan; Akuntabilitas; dan Keseimbangan.Berikut penjelasan untuk masing-masing prinsip tersebut di atas. Pertama, prinsip itikad baik menetapkan bahwa pelaku usaha dan konsumen dalam perdagangan melalui sistem elektronik wajib mengimplementasikan itikad baik. Pelanggaran atas asas ini berakibat pada batalnya kesepakatan di antara para pihak. Kedua, prinsip kehati-hatian menetapkan bahwa pelaku usaha dan konsumen wajib bersikap hati-hati dalam melakukan perdagangan melalui sistem elektronik. Segala informasi elektronik yang berkaitan dengan pelaku usaha, konsumen, barang, dan/atau jasa yang menjadi objek perdagangan wajib dipahami dengan baik.
Ketiga, prinsip transparansi. Prinsip ini menetapkan bahwa pelaku usaha dan konsumen wajib menyampaikan segala informasi elektronik sehubungan dengan pelaku usaha, konsumen, barang dan/atau jasa yang menjadi objek perdagangan secara transparan. Keempat, prinsip akuntabilitas dipahami bahwa kepatuhan para pelaku usaha dan konsumen terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam melakukan perdagangan melalui sistem elektronik. Kelima, prinsip keseimbangan yang menetapkan bahwa pelaku usaha dan konsumen harus sama-sama memiliki semangat untuk saling menguntungkan dan bukan merugikan salah satu pihak dalam kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik.
Prinsip-prinsip ini dirancang untuk menciptakan ekosistem e-commerce yang aman, adil, dan terpercaya, serta melindungi konsumen dan pelaku usaha dalam perdagangan elektronik. Dengan demikian, pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik semestinya menyampaikan spesifikasi barang dan/atau jasa yang ia jual melalui PPMSE berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Dalam hal ini, kewajiban untuk menyampaikan spesifikasi produk secara tepat dan akurat melekat pada pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik, bukan pada platform e-commerce sebagai PPMSE.
Lantas, apa saja kewajiban PPMSE dalam perdagangan melalui sistem elektronik?
Di antara kewajiban-kewajiban PPMSE, Pasal 22 PP 80/2019 menetapkan bahwa PPMSE bertanggung jawab atas dampak atau konsekuensi hukum akibat keberadaan konten informasi elektronik ilegal dalam perdagangan melalui sistem elektronik. Penjelasan Pasal 22 ayat (1) PP 80/2019 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konten informasi elektronik ilegal meliputi konten yang dilarang atau bersifat melawan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Merujuk pada Pasal 23 PP 80/2019, maka apa yang dimaksud informasi ilegal meliputi konteks penyalahgunaan ruang pada sistem elektronik yang dikelola PPMSE sehingga informasi palsu mengenai suatu barang dan/atau jasa menjadi termasuk di dalamnya.
OIeh karena itu, PPMSE dilekati kewajiban untuk menyediakan sarana kontrol teknologi dan/atau sarana penerimaan laporan atau aduan masyarakat atas keberadaan konten informasi elektronik ilegal dan/atau penyalahgunaan ruang pada sistem informasi yang dikelolanya. Pasal 23 PP 80/2019 juga mengatur bahwa PPMSE memiliki kewajiban untuk menjaga sistem elektroniknya aman, andal, dan bertanggung jawab dan membangun keterpercayaan publik terhadap sistem yang diselenggarakan. Dalam hal ini, kewajiban PPMSE dalam hal kemungkinan adanya informasi produk yang tidak tepat dan/atau akurat berada dalam konteks penyediaan pengamanan sistem elektronik yang mencakup prosedur dan sistem pencegahan dan pemulihan atas kerugian yang diderita konsumen karena informasi produk yang tidak tepat dan/atau akurat.
Bagaimana jika platform e-commerce terbukti gagal melaksanakan kewajiban tersebut? Apabila penyelenggara sarana perantara (platform e-commerce) gagal memenuhi kewajiban mereka dan tidak memberikan perlindungan yang memadai kepada konsumen, mereka dapat dikenai sanksi. Sanksi yang diberikan bersifat administratif dan diberlakukan oleh Menteri.Pasal 80 ayat (2) PP 80/2019 mengatur sanksi administratif yang lebih spesifik untuk PPMSE yang gagal merealisasikan kewajibannya. Sanksi tersebut dapat berupa:
peringatan tertulis; dimasukkan dalam daftar prioritas pengawasan; dimasukkan dalam daftar hitam; pemblokiran sementara layanan PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri oleh instansi terkait yang berwenang; dan/atau pencabutan izin usaha.Sanksi-sanksi ini dirancang untuk memastikan bahwa penyelenggara platform e-commerce mematuhi aturan yang berlaku dan bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan kepada konsumen. Pemberlakuan sanksi juga dimaksudkan untuk memberikan jaminan bagi konsumen dan pelaku usaha terkait kepatuhan platform terhadap standar hukum yang berlaku.