Penjawab: Rizky Karo Karo, S.H., M.H.
(Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan)

Dasar hukum perlindungan konsumen dalam layanan e-commerce diatur dalam 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen); 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE).

Para pihak dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yakni: 1. Penyelenggara PMSE; 2. Pedagang; 3 konsumen. Definisi normatif penyelenggara PMSE diatur dalam Pasal 1 Angka 11 PP PMSE bahwa Pelaku Usaha penyedia sarana Komunikasi Elektronik yang digunakan untuk transaksi Perdagangan. Definisi normatif penyelenggara PMSE diatur dalam Pasal 1 Angka 10 PP PMSE bahwa Pedagang (merchant) adalah Pelaku Usaha yang melakukan PMSE baik dengan sarana yang dibuat dan dikelola sendiri secara langsung atau melalui sarana milik pihak PPMSE, atau Sistem Elektronik lainnya yang menyediakan sarana PMSE.

Definisi normatif konsumen diatur dalam Pasal 1 Angka 17 PP PMSE yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Hubungan hukum antara para pihak dalam e-commerce didasari oleh perjanjian elektronik setelah pedagang, ataupun konsumen melakukan pendaftaran elektronik dengan mengisi data pribadi secara elektronik ke dalam sistem elektronik penyedia e-commerce (Karo Karo & Prasetyo, 2020).

Penggunaan e-commerce sebagai hasil dari kemajuan teknologi membawa pengaruh yang luas di berbagai sektor, termasuk ranah hukum. Meskipun regulasi e-commerce di Indonesia berlandaskan pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, keabsahannya tetap diikat oleh aturan dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Kuh. Perdata), khususnya terkait syarat sahnya perjanjian dalam e-commerce (Hernoko, 2010).

Berdasarkan Pasal 1320 Kuh. Perdata diatur tentang syarat sahnya perjanjian, yakni: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4. Suatu sebab yang tidak terlarang. Selain itu, berdasarkan Pasal 1234 Kuh. Perdata, “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Sedangkan pengaturan tentang kontrak elektronik diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah terkahir dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 (UU ITE) junto Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019). Berdasarkan Pasal 46 ayat (2) PP 71/2019 kontrak elektronik dianggap sah apabila: 1. terdapat kesepakatan para pihak; 2. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. terdapat hal tertentu; dan 4. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,. kesusilaan, dan ketertiban umum.

Syarat dan ketentuan (S&K) yang diberikan baik oleh pemilik platform maupun penjual dalam sistem e-commerce berbentuk klausula baku ataupun perjanjian sepihak. Namun, menurut pendapat saya, konsumen sebagai pembeli memiliki hak untuk dilindungi sesuai dengan 1. Undang-undang Perlindungan Konsumen; 2. Undang-undang Perdagangan; 3. PP PMSE. S&K tersebut memiliki beberapa fungsi antara lain: 1. Memberikan pengaturan hak dan kewajiban para pihak; 2. Meningkatkan kepercayaan (trust) konsumen; 3. Meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian menjawab pertanyaan saudari, penyelenggara e-commerce wajib menyusun S&K yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atas, misalnya tidak mencantumkan klausula baku yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-undang Perlindungan Konsumen, “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Apabila terjadi sengketa terhadap S&K tersebut maka berdasarkan Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen bahwa Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Konsumen dapat mengadu sengketa konsumen tersebut kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Republik Indonesia dalam website https://pengaduan.bpkn.go.id/ ataupun datang langsung ke kantor BPKN di Graha BPKN RI Jln. Jambu No.32 RT 05 / RW 02 Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat indonesia – 10310 baik didampingi oleh Advokat dengan didasarkan pada Surat Kuasa Khusus ataupun tidak didampingi Advokat.

Sumber Referensi:
Hernoko, A. Y. (2010). Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana.
Karo Karo, R. P., & Prasetyo, T. (2020). Pengaturan Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Perspektif Teori Keadilan Bermartabat. Nusa Media: Bandung.

Dasar Hukum:
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen).
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan).
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE).