Jaminan Usaha Kuliner Terhadap Konsumen
-
Bagaimana jika pemilik usaha kuliner tidak memiliki sertifikasi halal untuk menjamin produk yang mereka jual, sehingga berpotensi menimbulkan risiko berbahaya? Kejadian seperti ini masih sering terjadi pada usaha yang baru dimulai. Apa peran Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dalam mengatasi masalah ini?
-
Penjawab: Serlly Waileruny
(Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan)Tahun 2014 melalui Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Pemerintah telah berupaya untuk memberikan kepastian hukum baik bagi produsen ataupun konsumen di Indonesia terkait dengan sertifikasi halal yang ada pada sebuah produk makanan. Adapun kewajiban untuk mencantumkan sertifikat halal termuat dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa “produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”.
Namun terdapat beberapa pengecualian yang dibuat yaitu pada Pasal 18 yang menyatakan bahwa,- Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi:
a. bangkai;
b. darah;
c. babi; dan/atau
d. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat. - Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.
Terkait dengan bahan yang haram atau tidak halal, berdasarkan Pasal 26 dinyatakan bahwa, - Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
- Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk. Pada bagian ini dijelaskan lebih lanjut bahwa, “yang dimaksud dengan “keterangan tidak halal” adalah pernyataan tidak halal yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Produk. Keterangan dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan.”
Berdasaskan pemaparan di atas telah ada kepastian hukum yang jelas baik bagi produsen dan konsumen di mana bagi adalah wajib bagi semua produsen untuk mencantumkan sertifikat halal pada produk makanan. Namun, bagi produsen yang mengelola produk yang berasal dari bahan yang diharamkan wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produknya. Hal ini memberikan kemudahan bagi konsumen terutama yang menjalankan kewajiban agamanya untuk mudah memilih produk yang telah bersertifikat halal.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam hal ini adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal, yang tugasnya berdasarkan Pasal 49 adalah melakukan pengawasan. Adapun berdasarkan Pasal 50 pengawasan dilakukan terhadap, a) LPH; b) masa berlaku Sertifikat Halal; c) kehalalan Produk; d) pencantuman Label Halal; e) pencantuman keterangan tidak halal; f) pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; g) keberadaan Penyelia Halal; dan/atau h) kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
Selain itu, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari turunan undang-undang a quo, terdapat Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal memberikan sanksi administratif bagi pelanggaran terhadap JPH, yaitu;
Pasal 149
(1) Pelanggaran terhadap penyelenggaraan JpH dikenakan sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan terhadap pelaku Usaha berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pencabutan Sertifikat Halal; dan/atau
d. penarikan barang dari peredaran.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan terhadap LpH berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif; dan/atau
c. pembekuan operasional.
(4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
(5) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat diberikan secara berjenjang, alternatif, dan/atau kumulatif.
(6) Dalam hal penetapan denda adrninistratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).Sehingga untuk menjawab “bagaimana jika pemilik usaha kuliner tidak memiliki sertifikasi halal untuk menjamin produk yang mereka jual, sehingga berpotensi menimbulkan risiko berbahaya?”
Bagi pemilik usaha memliki kewajiban untuk mencantumkan sertifikat halal pada produk makanan. Namun, bagi penjual makanan yang mengelola produk yang berasal dari bahan yang diharamkan wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produknya. Bagi pemilik kuliner yang secara sengaja melakukan penyelenggaraan JPH, terdapat sanksi yang menjerat.Dasar hukum:
Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. - Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi:
Share this post