Penjawab: Abdul Azis Dumpa, S.H., M.H.
(Lembaga Bantuan Hukum Makassar)
Jual beli secara elektronik atau Electronic commerce (e-commerce) adalah segala kegiatan jual beli atau transaksi yang dilakukan menggunakan sarana media elektronik (internet). Jual beli secara Elektronik diatur dalam Pasal 1 ayat (24) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan (UU Perdagangan) yang mengatur bahwa: “Perdagangan melalui Sistem Elektronik adalah Perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik”.
Pasal 65 UU Perdagangan mengatur bahwa:
(1) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar.
(2) Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
(4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi;
b. persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
c. persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan;
d. harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan
e. cara penyerahan Barang
(5) Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang mengalami sengketa dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
Berdasarkan Pasal 65 ayat (5) UU Perdagangan diatas maka upaya penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan melalui sistem elektronik dapat dilakukan melalui Pengadilan dan diluar pengadilan. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 45, 47 dan 48 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlndungan Konsumen):
Pasal 45
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
Berdasarkan Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen tersebut, maka Penyelesaian sengketa konsumen terhadap produk yang cacat dan tidak sesuai dengan ulasan serta deskripsi yang tertera dapat ditempuh penyelesaian diluar pengadilan dengan mengajukan gugatan ganti kerugian apabila konsumen mengalami kerugian akibat pembelian suatu barang yang diperdagangkan oleh suatu pelaku usaha. Hal ini dikarenakan pelaku usaha telah melanggar hak konsumen terkait “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa” yang diatur dalam Pasal 4 huruf c UU Perlindungan Konsumen UU Perlindungan Konsumen. Sehingga atas kerugian yang dialami, konsumen memiliki “hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya” sebagaimana di atur dalam Pasal 4 huruf h UU Perlindungan Konsumen.
Terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen maka pelaku usaha wajib “memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian” sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf g UU Perlindungan Konsumen.
Adapun lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha disebut BPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) UU Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”. Selain gugatan ganti kerugian, penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) juga dapat dilakukan apabila yang dilanggar adalah yang diatur dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 UU Perlindungan konsumen, dengan Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UU Perlindungan Konsumen.
Selain melalui BPSK, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui peradilan umum perdata dengan mengajukan Gugatan Ganti Kerugian menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata. Ganti kerugian harus dilakukan atas dasar adanya pelanggaran hukum berupa perbuatan melawan hukum (PMH). Hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata sebagai suatu perbuatan lali/kelalaian atau ‘Negligence’ yang dikaitkan dengan tanggung jawab dari produsen produk tersebut untuk bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum (kelalaian/Negligence) yang dilakukan. Adapun hal tersebut harus memenuhi syarat-syarat seperti:
adanya tingkah laku yang mengalami kerugian, yang tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal pada umumnya; harus membuktikan bahwa pelaku usaha (pihak tergugat jika sudah digugat) lalai atas prinsip Duty of Care terhadap konsumen (pihak penggugat jika suda digugat); dan kelakuan itu seharusnya menjadi penyebab nyata dari kerugian yang timbul.Penyelesaian sengketa konsumen terhadap produk yang cacat dan tidak sesuai dengan ulasan serta deskripsi yang tertera melalui jalur pidana apabila pelaku usaha diduga melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:: tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut”; dan Pasal 8 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”.
Terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen akan dikenakan sanksi pidana dan denda sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) bahwa:
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Dapat pula dikenakan sanksi tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 UU Perlindungan Konsumen bahwa:
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijadikan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha
Demikian, semoga jawaban ini dapat membantu.