Penjawab: Siti Nur Alisa, S.H.
(Lembaga Bantuan Hukum Makassar)
Terkait dengan pertanyaan saudara apibila terdapat situasi di mana efek samping produk terjadi secara massal atau menyebabkan dampak kesehatan yang serius bagi banyak konsumen penegakan hukum yang dapat dilakukan terhadap produsen atau pemasok produk tersebut dapat dilakukan melalui Peradilan Umum baik Perdata maupun Pidana. Juga dapat dilakukan upaya hukum diluar peradilan.
Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 45, 47 dan 48 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlndungan Konsumen):
Pasal 45
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
Berdasarkan Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen tersebut Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ganti kerugian apabila konsumen mengalami kerugian akibat peggunaan barang yang diperdagangkan oleh suatu pelaku usaha. Adapun lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha disebut BPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) UU Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”.
Selain gugatan ganti kerugian, penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) juga dapat dilakukan apabila yang dilanggar adalah yang diatur dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 UU Perlindungan konsumen, dengan Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UU Perlindungan Konsumen.
Selain melalui BPSK, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui peradilan umum perdata dengan mengajukan Gugatan Ganti Kerugian menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata. Ganti kerugian harus dilakukan atas dasar adanya pelanggaran hukum berupa perbuatan melawan hukum (PMH). Hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata sebagai suatu perbuatan lali/kelalaian atau ‘Negligence’ yang dikaitkan dengan tanggung jawab dari produsen produk tersebut untuk bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum (kelalaian/Negligence) yang dilakukan. Adapun hal tersebut harus memenuhi syarat-syarat seperti:
adanya tingkah laku yang mengalami kerugian, yang tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal pada umumnya; harus membuktikan bahwa pelaku usaha (pihak tergugat jika sudah digugat) lalai atas prinsip Duty of Care terhadap konsumen (pihak penggugat jika suda digugat); dan kelakuan itu seharusnya menjadi penyebab nyata dari kerugian yang timbul.Adapun yang dapat mengajukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha, diatur dalam Pasal 46 UU Perlindungan Konsumen:
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh kelompok konsumen, lembaga perllindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah
Berdasarkan hal tersebut maka apabila efek samping produk terjadi secara massal atau menyebabkan dampak kesehatan yang serius bagi banyak konsumen, maka dapat diajukan gugatan oleh kelompok konsumen, atau lembaga perllindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah kepada Peradilan Umum.
Namun yang perlu digaris bawahi disini bahwa pelaku usaha dapat saja terbebas dari tanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh konsumen, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan 28 UU Perlindungan Konsumen.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Selain gugatan ganti kerugian, terhadap efek samping produk yang terjadi secara massal atau menyebabkan dampak kesehatan yang serius bagi banyak konsumen, Penyelesaian sengketa konsumen tersebut dapat sebagai tindak pidana apabila pelaku usaha diduga melanggar pasal 9 ayat (1) huruf j UU Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: …….menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap”.
Terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf j UU Perlindungan Konsumen akan dikenakan sanksi pidana dan denda sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) bahwa:
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Apabila efek samping tersebut menimbulkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian maka yang berlaku adalah ketentuan dalam KUHP. Hal ini sebagaimana diiatur dalam Pasal 62 ayat (3) bahwa: “Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku”.
Dapat pula dikenakan sanksi tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 UU Perlindungan Konsumen bahwa:
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijadikan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha