Perlindungan Nasabah dalam Restrukturisasi dan Likuidasi Bank
-
Bagaimana regulasi di Indonesia mengatur mengenai perlindungan nasabah dalam hal restrukturisasi atau likuidasi bank? Apa hak-hak nasabah yang harus dipenuhi oleh bank dalam situasi tersebut, dan bagaimana nasabah dapat memastikan bahwa hak-hak mereka dilindungi?
-
Penulis: Muhlisin, S.H., M.H.
Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas JemberSecara umum, dalam konteks perlindungan nasabah perbankan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ("UU No. 10 tahun 1998") telah mengatur beberapa hal subtansial. Pengaturan penting tersebut setidaknya perihal kesehatan bank, akses informasi bagi nasabah, jaminan simpanan masyarakat termasuk kerahasiaan keterangan terkait nasabah dan simpanannya. Secara umum yang secara tersirat mengatur perihal perlindungan nasabah tersebut sebagaimana diatur dalam norma pasal-pasal berikut:
-
Pengaturan norma perihal kesehatan bank terdapat dalam Pasal 29 ayat (2) UU No. 10 tahun 1998 menyebutkan:
Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. -
Akses informasi bagi nasabah diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU No. 10 tahun 1998 sebagaimana bunyi ketentuan berikut:
“Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank” -
Jaminan terhadap simpanan masyarakat oleh Bank diatur dalam ketentuan Pasal 37B ayat (1) dan ayat (2) UU No. 10 tahun 1998 sebagai berikut:
(1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.
(2) Untuk menjamin simpan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan. -
Adapun kerahasiaan keterangan mengenai nasabah serta simpanannya diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) UU No. 10 tahun 1998 yang menyebutkan:
(1) Bank Wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, dan Pasal 44A.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi."
Selain ketentuan UU No. 10 tahun 1998 diatas, Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (“UU No. 3 tahun 2004”) mengatur bahwa tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen tersebut, Pada tahun 2012 terbentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU No. 21 tahun 2011“).
Berkenaan dengan perlindungan nasabah dalam hal likuidasi bank, hal tersebut erat kaitannya dengan Pasal 37B ayat (1) dan ayat (2) UU No. 10 tahun 1998 diatas, mengingat berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (“UU No. 24 tahun 2004”) terbentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Pasal 10 UU No. 24 tahun 2004 menyebutkan LPS menjamin Simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Akan tetapi berdasarkan Pasal 11 UU No. 24 tahun 2004 besaran nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp100.000.000,00(seratus juta rupiah). Dalam ketentuan Pasal 16 UU ayat (1) No. 24 tahun 2004 menyebutkan bahwa LPS wajib membayar klaim Penjaminan kepada Nasabah Penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya.
Ketentuan UU No. 24 tahun 2004 perihal likuidasi membagi menjadi dua macam yakni Likuidasi Bank Gagal oleh LPS dan Likuidasi Bank oleh Pemegang Saham. Perbedaan mendasar dari jenis likuidasi keduanya, yakni terletak pada pembayaran klaim penjaminan nasabah penyimpan dari bank. Dalam hal likuidasi Bank oleh pemegang saham, maka klaim penjaminan nasabah penyimpan tidak dapat dibayarkan oleh LPS sebagaimana diatur pasal 61 ayat (2) UU No. 24 tahun 2004 yang menyebutkan:
LPS tidak membayar klaim Penjaminan Nasabah Penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya atas permintaan pemegang saham sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berbicara likuidasi bank, tidak terlepas dari kewenangan LPS dalam menyelesaikan dan menangani bank gagal sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Angka 6 Pasal 6 ayat (2) UU No. 4 tahun 2023 yang mengubah ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 24 tahun 2004 menyebutkan bahwa:
Terhitung sejak lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan atas Bank Dalam Resolusi atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya, Lembaga Penjamin Simpanan berwenang:
a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
b. menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Dalam Resolusi serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah;
c. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Dalam Resolusi serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dengan pihak ketiga yang merugikan Bank Dalam Resolusi serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; dan
d. menjual dan/atau mengalihkan aset Bank Dalam Resolusi atau Perusahaan Asuransi dan Pemsahaan Asuransi Syariah tanpa persetujuan debitur dan/atau mengalihkan kewajiban Bank Dalam Resolusi atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tanpa persetujuan kreditur.
Dalam Likuidasi Bank Gagal oleh LPS seperti yang disebutkan diatas, LPS dapat mengambil beberapa tindakan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 43 UU No. 24 tahun 2004 yang menyebutkan, dalam rangka melakukan Likuidasi Bank Gagal yang dicabut izin usahanya, LPS melakukan tindakan sebagai berikut:
a. melakukan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
b. memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang dan talangan pesangon pegawai sebesar jumlah minimum pesangon sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;
c. melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka pengamanan aset bank sebelum proses likuidasi dimulai; dan
d. memutuskan pembubaran badan hukum bank, membentuk tim likuidasi, dan menyatakan status bank sebagai bank dalam likuidasi, berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Berdasarkan tindakan-tindakan tersebut diatas, dalam hal pembayaran kewajiban bank kepada kreditur salah satunya adalah kepada Nasabah Penyimpan, termasuk terpenuhi atau tidaknya pemabayaran kewajiban bank tersebut sebagaimana diatur Pasal 7 Angka 35 Pasal 54 UU No. 4 tahun 2023. Bunyi ketentuan tersebut sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 Angka 35 Pasal 54 ayat (1) huruf g, ayat (4) dan (5) UU No. 4 tahun 2023 yang menyebutkan:
(1) pembayaran kewajiban Bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
g. bagian Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak dijamin; dan
Ketentuan Pasal 7 Angka 35 Pasal 54 ayat (4) dan (5) UU No. 4 tahun 2023 berbunyi:
(4) Dalam hal seluruh kewajiban Bank dalam likuidasi telah dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat sisa hasil likuidasi, sisa diserahkan kepada pemegang saham lama.
(5) Dalam hal seluruh aset Bank telah habis dalam proses likuidasi dan masih terdapat kewajiban Bank terhadap pihak lain, kewajiban tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan Bank menjadi Bank Dalam Resolusi.
Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 24 tahun 2004 jo. UU No. 4 tahun 2023 tersebut bahwa LPS menjamin simpanan nasabah bank, besaran nilai jaminan tersebut yakni setiap nasabah pada satu bank paling banyak seratus juta rupiah. Selain itu, LPS wajib membayar klaim Penjaminan kepada Nasabah Penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya. Berdasarkan Pasal 19 dan 20 dari ketentuan tersebut, Klaim Penjaminan tersebut dapat juga dinilai tidak layak dibayar. Akan tetapi apabila nasabah penyimpan merasa dirugikan maka dapat mengajukan keberatan kepada LPS atau melakukan upaya hukum melalui pengadilan.
Terkait perlindungan terhadap nasabah dalam hal likuidasi bank, bahwa salah satu penerima pembayaran kewajiban Bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan yakni Nasabah Penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan Nasabah Penyimpan yang tidak dijamin. Dalam hal seluruh kewajiban Bank dalam likuidasi telah dibayarkan masih terdapat sisa hasil likuidasi, sisa diserahkan kepada pemegang saham lama. Namun jika seluruh aset Bank telah habis dalam proses likuidasi dan masih terdapat kewajiban Bank terhadap pihak lain, kewajiban tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan Bank menjadi Bank Dalam Resolusi.
Likuidasi bank secara khusus diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Likuidasi Bank (“PLPS No. 1 tahun 2022”). Ketentuan ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PLPS No. 1 tahun 2022 mengatur perihal ketentuan berikut:
(1) Dalam hal Bank Gagal dicabut izin usahanya oleh OJK maka:
a. LPS segera melakukan tindakan yang diperlukan untuk pengamanan aset Bank Gagal yang dicabut izin usahanya sebelum proses Likuidasi Bank dimulai; dan
a. Dewan Komisaris, Direksi, dan pegawai Bank Gagal yang dicabut izin usahanya dilarang melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan aset dan kewajiban Bank kecuali atas persetujuan dan/atau penugasan LPS.
(2) Tindakan yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. menguasai dan mengelola aset Bank;
b. mengelola kewajiban Bank; dan
c. melakukan koordinasi dengan OJK, Bank Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait lainnya.
(3) Untuk melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LPS dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama LPS sebelum Tim Likuidasi terbentuk.
Mekanisme Pembayaran kewajiban kepada Kreditur diatur dalam Pasal 42 PLPS No. 1 tahun 2022 yang berbunyi:
(1) Pembayaran kewajiban kepada Kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dari hasil pencairan aset dapat dilakukan secara bertahap pada masa Likuidasi Bank atau sekaligus pada akhir pelaksanaan Likuidasi Bank.
(2) Pembayaran kewajiban dilakukan oleh Tim Likuidasi secara langsung kepada Kreditur atau ditransfer ke rekening Kreditur yang ditunjuk oleh Kreditur dan biayanya menjadi beban Kreditur.
(3) Pembayaran secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah Tim Likuidasi mengalokasikan hasil pencairan aset dengan estimasi biaya operasional sesuai dengan rencana kerja dan anggaran biaya.
(4) Pembayaran terakhir kepada Kreditur dari hasil pencairan aset dilakukan setelah Tim Likuidasi mengalokasikan dana untuk tindak lanjut pengakhiran Likuidasi Bank.
(5) Dalam hal hasil pencairan aset tidak mencukupi untuk membayar seluruh kewajiban kepada Kreditur dalam urutan yang sama, pembayaran kewajiban kepada Kreditur dilakukan secara proporsional.
Berdasarkan PLPS No. 1 tahun 2022 diatas, ketika OJK mencabut izin usaha Bank Gagal maka LPS segera mengambil tindakan sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Kemudian ketika pada masa Likuidasi Bank pembayaran kewajiban kepada kreditur dilakukan bertahap atau sekaligus, baik langsung maupun melalui transfer, dengan biaya ditanggung kreditur. Pembayaran bertahap dilakukan setelah alokasi aset dan biaya operasional, sedangkan pembayaran terakhir dilakukan setelah alokasi dana pengakhiran likuidasi. Jika aset tidak mencukupi, pembayaran dilakukan secara proporsional.Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Likuidasi Bank. -
Share this post