Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menyoroti isu efektivitas hukum hingga kebutuhan mendesak untuk merevisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) agar lebih relevan dengan perkembangan zaman, terutama di era digital.

Tulus menjelaskan tiga pilar yang harus diperhatikan untuk menilai efektivitas hukum perlindungan konsumen, yaitu content of law (isi hukum), structure of law (struktur hukum), dan culture of law (budaya hukum). Ketiga aspek ini, kata dia, saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.

“Dari sisi isi hukum, UUPK sudah memberikan landasan yang baik, tetapi tentu dengan berjalannya waktu, ada banyak kelemahan yang perlu diperbaiki. Revisi atau amandemen menjadi kebutuhan agar undang-undang ini tetap relevan,” jelasnya pada diskusi bertajuk ‘Evaluasi Seperempat Abad Undang-Undang Perlindungan Konsumen: Sejauh Mana Konsumen Mendapatkan Keadilan?’ di Jakarta Pusat, Kamis (9/1).

Baca Juga:

Salah satu isu krusial yang dibahas Tulus adalah perlindungan konsumen terhadap produk adiktif seperti rokok dan minuman manis. Ia menilai bahwa regulasi saat ini masih belum memadai.

“Produk adiktif seperti rokok tidak seharusnya diiklankan. Tetapi, industri rokok sering kali menggunakan alasan perlindungan konsumen untuk meloloskan iklan mereka, yang tentu saja tidak relevan,” tegasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya kesiapan aparat penegak hukum. Menurutnya, struktur hukumnya juga harus diperkuat. Di awal penerapan UUPK, YLKI bahkan memberikan pelatihan kepada hakim, jaksa, dan polisi agar mereka memahami cara menangani kasus yang terkait dengan perlindungan konsumen.

Namun, budaya hukum di Indonesia masih menjadi tantangan besar. “Budaya penegakan hukum yang lemah tidak hanya menghambat perlindungan konsumen, tetapi juga mencerminkan potret besar masalah penegakan hukum di negeri ini,” tambahnya.

Selain itu, Tulus menyoroti risiko yang dihadapi konsumen saat mengadu. Banyak kasus di mana konsumen yang melaporkan masalah justru digugat balik oleh pelaku usaha. Hal ini mereduksi keberanian konsumen untuk mengadu, sehingga perlu mekanisme imunitas hukum agar konsumen terlindungi dari gugatan balik, baik secara perdata maupun pidana.

Tulus mengakui bahwa konsumen juga harus berhati-hati dalam mengajukan pengaduan. Menurutnya, konsumen harus memastikan bahwa aduannya dilengkapi dengan data yang kuat. Namun, fakta bahwa konsumen yang mengadu dengan benar pun masih bisa digugat balik menunjukkan adanya ketimpangan perlindungan.

Lebih lanjut, di era digital, perlindungan konsumen menghadapi tantangan baru, terutama dalam aspek e-commerce, pinjaman online (pinjol), dan perlindungan data pribadi. Tulus menekankan bahwa UUPK belum sepenuhnya mengakomodasi isu-isu ini.

“Era digital membawa kompleksitas baru yang belum diatur secara memadai dalam UUPK. Perlindungan konsumen digital harus menjadi prioritas dalam revisi undang-undang ini,” ujarnya.

YLKI kini menghadapi tantangan baru di era digital, di mana kasus-kasus terkait jasa keuangan dan e-commerce mendominasi pengaduan konsumen dalam lima tahun terakhir. Pinjol ilegal, kata dia, adalah salah satu kasus terbesar yang ditangani. Tidak jarang, konsumen terjebak pinjol untuk berjudi, atau sebaliknya, judi mendorong mereka beralih ke pinjol ilegal. Sayangnya, penanganan kasus pinjol ilegal masih terbatas karena keterbatasan kemampuan aparat penegak hukum.

Selain pinjol, masalah lain yang sering dilaporkan adalah sengketa di e-commerce. “Era digital memang membawa banyak manfaat, tapi juga tantangan besar. Tingkat keberdayaan konsumen digital kita masih rendah, sementara mitigasi pemerintah juga belum optimal,” tambahnya.

Ketua Bidang E-Commerce Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Claudio Faldo. Foto: HFW

Di sisi lain, Ketua Bidang E-Commerce Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Claudio Faldo, menjelaskan peran penting e-commerce dalam ekosistem digital Indonesia dan langkah-langkah yang diambil industri e-commerce untuk meningkatkan transparansi, manajemen risiko, dan perlindungan konsumen.

“E-commerce bukan hanya sekadar platform jual beli online, tetapi sebuah ekosistem yang terintegrasi. Kami menghubungkan pembeli, penjual, penyedia pembayaran, dan logistik dalam sistem yang sangat kompleks namun efisien,” ujar Claudio pada kesempatan yang sama.

Ia juga menegaskan bahwa perlindungan konsumen telah menjadi prioritas utama bagi perusahaan e-commerce. Sistem escrow, real-time tracking, asuransi, dan mekanisme pengaduan adalah beberapa fitur yang dirancang untuk menjamin keamanan dan kepuasan konsumen.

Menurutnya, e-commerce di Indonesia sudah memiliki mekanisme perlindungan konsumen yang mapan. Setiap transaksi di e-commerce dipantau melalui escrow account, di mana dana pembeli baru akan diteruskan ke penjual setelah pembeli mengkonfirmasi penerimaan barang.

Namun, ia mengakui bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi, terutama terkait modus-modus penipuan baru seperti skimming dan phising. “Kami harus terus berinovasi untuk mengatasi berbagai modus baru yang mengancam keamanan konsumen,” katanya.

Claudio juga menyoroti pentingnya transparansi dalam ekosistem e-commerce. Mulai dari real-time tracking pada logistik, transparansi biaya saat checkout, hingga adanya kanal pengaduan yang aktif 24/7. Untuk menjaga integritas platform, idEA mendorong anggotanya menerapkan sistem sanksi bagi pelaku pelanggaran, mulai dari pembekuan akun hingga pelaporan ke pihak berwenang.

Edukasi konsumen sebagai langkah strategis dalam meningkatkan perlindungan konsumen, baginya sangat penting. Melalui kampanye digital dan insentif seperti voucher untuk ulasan produk, idEA mendorong konsumen untuk lebih aktif dan kritis dalam transaksi online.

“Tujuan kami adalah menciptakan konsumen yang berdaya, yang dapat melindungi diri mereka sendiri sekaligus membantu konsumen lain melalui ulasan dan laporan yang transparan,” kata Claudio.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, regulator, dan industri untuk menciptakan ekosistem yang lebih baik. “Kami terus bekerja sama dengan kementerian dan lembaga untuk mengedukasi masyarakat dan memastikan regulasi yang mendukung perlindungan konsumen di era digital,” pungkasnya.